
- PRAKTEK MATA KULIAH OTONOMI DAN PEMERINTAHAN DAERAH
- PEMBUKAAN PKKMB STISIP BINA GENERASI POLEWLI MANDAR Pembukaan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa
- PELAKSANAAN PRA PKKMB STISIP BINA GENERASI POLEWLI MANDAR
- KLARIFIKASI MENGENAI PENANGANAN KIP KULIAH, STISIP BINA GENERASI
- STISIP BINA GENERASI POLEWALI MANDAR LEADERS CAMP PART 1 DI KECMATAN ANREAPI
- DEBAT KANDIDAT CALON KETUA HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN STISIP BINA GENERASI POLEWLI MANDAR
- Seleksi PMB gelombang kedua STISIP Bina Generasi Polewali Mandar Tahun akademik 2022/2023
- ALUMNI STISIP BINA GENERASI POLEWLI MANDAR LULUS SEBAGAI ANGGOTA BRIMOB
- PELANTIKAN DAN RAPAT KERJA KPUM DAN P3UM
- PEMBENTUKAN PANITIA PERSIAPAN PEMILIHAN KETUA HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN KPUM DAN P3UM
Legenda Sungai Lariang
Berita Terkait
- Kopi Mamasa : Legenda Kejayaan Kopi Sulawesi Barat3
- Arus Ekstrim di Tanjung Batu Roro1
- Majene Merayakan Hari Jadinya yang ke 472 0
- ABM tinjau Persiapan Lomba Sandeq0
- Pelatihan Admin web Pemkab Mamasa0
- Allamungang Batu di Luyo0
- Aksi Damai oleh Aliansi Solidaritas Aktivis Sulbar0
Berita Populer
- Kopi Mamasa : Legenda Kejayaan Kopi Sulawesi Barat
- Bos Amazon Temukan Mesin Apollo 11
- ALUMNI STISIP BINA GENERASI POLEWLI MANDAR LULUS SEBAGAI ANGGOTA BRIMOB
- KLARIFIKASI MENGENAI PENANGANAN KIP KULIAH, STISIP BINA GENERASI
- STISIP BINA GENERASI POLEWALI MANDAR LEADERS CAMP PART 1 DI KECMATAN ANREAPI
- Roti Pawa,Bakpau ala Mandar
- Jurnalistik Kampus STISIP Biges Polewali
- Tim Takraw Putri Indonesia memutuskan Walk Out saat menghadapi tuan rumah Malaysia
- Allamungang Batu di Luyo
- PEMBENTUKAN PANITIA PERSIAPAN PEMILIHAN KETUA HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN KPUM DAN P3UM

Sungai Lariang tidak bisa dipisahkan dari sejarah orang-orang pertama yang mendiami Mamuju Utara,dimana sepanjang Sungai Lariang yang membentang dari Dataran Tinggi Napu, Kab. Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, melewati wilayah Kab. Mamuju Utara hingga bermuara di Selat Makassar , adalah perkampungan-perkampungan orang-orang terdahulu di Mamuju Utara. Disinilah terletak pusat-pusat kebudayaan Kaili Tua yang berada di pinggiran Sungai Lariang yang kemudian dikenal sebagai To Ri Bunggu atau To Ri Binggi yang dikenal sebagai masyarakat peladang yang ulung.
Hingga akhir era 90-an saat masyarakat lokal Bunggu masih tinggal berladang di sepanjang Sungai Lariang, kelestarian dan keseimbangan alam terjaga karena masyarakat lokal tersebut masih dalam batas toleransi dalam mengeksploitasi alam dengan peralatan yang sederhana. Juga areal okuvasi masyarakat lokal Bunggu tidak pada posisi mengancam kelestarian alam, ditinjau dari luasan serta cara mereka mengeksploitasi alam.
Fakta dan realita alam jadi bukti bahwa sebelum era tahun 1990-an, Sungai Lariang, adalah sungai yang indah dan merupakan jalur transportasi yang cukup baik. Kesetimbangan ekosistem sungai masih terjaga dengan baik, aneka jenis ikan masih bisa dijumpai di Sungai Lariang, termasuk Massapi atau Sidat dan Udang Galah. Dua jenis ikan yang kaya protein sudah mulai menghilang dari Sungai Lariang. Begitu juga bantaran sungai tetap terpelihara kelestariannya dan menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna.Pada pertengahan 1990,penulis sempat menikmati keindahan sungai Lariang dalam perjalanan dari Mamuju ke Bambaloka.Keindahan Sungai Lariang yang jernih Kala itu sangat menyejukkan mata,dan sepanjang perjalanan terlihat hutan perawan yang masih asri dan belum terjamah oleh manusia.Saat itu Penulis bekerja di salah satu perkebunan Sawit Unggul Widya,salah satu perusahaan Sawit yang baru membuka lahan di Desa Baras kecamatan Pasang Kayu.
Namun belakangan saya ketahui bahwa akibat eksploitasi alam dengan terbukanya areal perkebunan sawit secara besar besaran di Pasangkayu,terjadi perubahan Ekosistem yang sangat berpengaruh buruk terhadap keseimbangan alam di wilayah itu. Bantaran Sungai Lariang jadi terabaikan pelestariannya.Bahkan setiap musim hujan sungai yang juga adalah habitat buaya ini mengalami banjir bandang, menimbulkan gerusan hingga ratusan hektar. Ini berbanding terbalik di musim kemarau, air Sungai Lariang semakin menipis dan menimbulkan delta-delta kecil di tengah sungai. Akibat pendangkalan ini menyebabkan hancurnya ekosistem air Sungai Lariang.
Kembali ke cerita tentang Suku Bunggu yang merupakan penghuni asli pesisir Sungai Lariang, konon, nenek moyang suku Bunggu bukan berdarah Mandar sebagaimana suku yang mayoritas di Sulawesi Barat. Mereka berasal dari Suku Kaili di Sulawesi Tengah yang mengembara ke pegunungan Sulbar.Seiring dengan perkembangan zaman, dan hutan yang mulai menyusut akibat penebangan liar, hingga pembukaan lahan sawit. Mereka perlahan membuat rumah panggung yang lantainya hanya sekitar dua meter di atas permukaan tanah. Kebiasaan berpindah pun berangsur ditinggalkan.Mayoritas Suku Bunggu kini memilih menetap di sejumlah desa di Mamuju Utara, seperti Desa Pakava, Desa Bambaira, Desa Sarjo, Desa Polewali, serta Desa Martasari. Di sana, mereka membangun rumah sederhana yang beratap rumbia, berdinding serta berlantai papan. Namun mulai tersentuh oleh teknologi dengan keberadaan radio dan televisi.
Desa Pakava adalah wilayah yang paling tersentuh dengan kemajuan teknologi informasi tersebut. Masuknya listrik ke wilayah itu membuat Suku Bunggu lambat laun membuka mata dengan perkembangan dunia. Pekerjaan utama bercocok tanam merambah ke tanaman produktif, misalnya kakao dan jeruk. Mereka pun cukup terbuka dengan masyarakat luar.Tak salah bila Desa Pakava disulap menjadi pusat pesta adat Suku Bunggu. Pesta ini digelar sekali setahun antara Mei-Juni yang dilaksanakan selama tiga hari. Biasanya, pesta adat menjadi “reuni” Suku Bunggu baik yang sudah menetap di pedesaan maupun yang masih hidup berpindah di pegunungan.
Pesta adat ini berisi bermacam acara, termasuk ritual memperingati kelahiran anak dan dilaksanakan secara bersamaan di atas Bantaya, sebutan rumah panggung berukuran dua kali lipat lebih besar dari rumah Suku Bunggu. Rumah yang tak berdinding itu semacam tempat pertemuan yang di buat di tengah desa.Di dalam pesta adat, Suku Bunggu biasanya menampilkan tarian Ma’dero, semacam tarian tradisional yang melibatkan muda-mudi suku tersebut. Mereka membentuk lingkaran kecil, sedang, dan besar. Kemudian berputar secara melingkar mengikuti tabuhan gendang.
Keterbukaan dengan dunia luar membuat Desa Pakava kini menjadi obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi.Bagi wisatawan yang berminat melihat suku asli Sungai Lariang berikut pesta adatnya ,datanglah ke sana pada bulan antara bulan Mei-Juni dimana berlangsung Pesta Adat Suku Bunggu.Dan anda tak perlu khawatir,karena sekarang jalur transportasi sudah menembus wilayah ini. Anda dapat menempuh rute dari pusat kota Mamuju Utara dengan menggunakan kendaraan roda empat hanya dalam waktu kurang lebih 45 menit.Tapi tentu saja anda tak akan lagi melihat Suku Bunggu yang berumah di atas Pohon.
( Abs )
